Headlines News :

Lomba Blog BPJS Ketenagakerjaan

Home » » aswaja dan politik ketatanegaraan

aswaja dan politik ketatanegaraan

BAB I PEMBAHASAN A. Menyadari Kemajemukan Bangsa Konsep “bangsa” seperti yang difahami dalam wacara politik sekarang memang termasuk barang baru, artinya muncul pada era kehidupan modern ini saja setelah revolusi Perancis pada tahun 1789 M. Bangsa atau nation disini diartikan sebagai kesatuan orang-orang yang mempunyai kesamaan sejarah, kesamaan cita-cita dan perjuangan, kesamaan wilayah tempat tinggal dan pemerintahan, meskipun kemungkinan diantaranya ada perbedaan dalam asal-usul keturunan (ras), keyakinan (agama) maupun bahasa. Faham nasionalisme modern sekarang mengacu pada pengertian nation atau bangsa seperti yang dikemukakan tersebut, seperti Indonesia yang dalam kebangsaannya terdiri dari beberapa suku, beberapa asal ras, beberapa bahasa daerah, beberapa budaya dan tradisi local, tetapi mereka semua menyatakan diri sebagai bansa Indonesia yang satu kesatuan diatas berbagai macam perbedaan-perbedaan. Dalam referensi ke-Islaman terutama yang berbahasa Arab, kata “bangsa” biasanya disebut dengan “qaum” dan “kebangsaan” disebut “qaumiyah”, tetapi setelah pengertian bangsa itu dikaitkan wilayah tempat tinggal yang mempunyai bangsa (Nation State) maka istilah kebangsaan berubah lebih popular dengan sebutan “wathoniyah” dari pada “qauniyah”. Ada lagi beberapa kata yang mempunyai makna dekat dengan kebangsaan tersebut, seperti “syabiyah” (poples) dan “ummah” dan yang membedakan pengertiannya adalah konteks dimana istilah-istilah tersebut dipakai. Bagian awal literature politik yang diwarisi dari zaman nabi Muhammad SAW adalah as-Shaifah”, yakni dokumen yang kerap dikenal sebagai Piagam Madinah, yang kebanyakan dihubungkan dengan episode Hijrah antara tahun 622 – 624 M. Konstitusi itu menyebut kaum mukmin membentuk satu umat yang menyertakan kaum Yahudi Madinh. Meskipun terdiri atas suku-suku, tapi masing-masing harus bertanggung jawab atas perilaku anggotanya. Umat sebagai satu keseluruhan bertindak secara kolektif dalam menegakkan tatanan social dan keamanan, serta dalam melawan musuh saat perang dan damai. Kembali pada masalah kebangsaan dalam tradisi Ahlussunnah wal jama’ah, yang dulunya masalah ini lebih difahami sebagai arti praktis dari konsep keumatan. Umat di dalam konsep tersebut mempunyai arti sekumpulan orang-orang yang disatukan atau diikat kesatuannya oleh kesamaan keyakinan agama. Dengan pengertian ini maka masalah ras, budaya, bahasa, dan wilayah tempat tinggal tidak membatasi pengertian keumatan tersebut. Meskipun demikian konsep keumatan ini tidak menghalangi kehidupan yang pluralis antara komunitas Islam dengan komunitas lainnya dalam wilayah suatu Negara selama ini, baik pada zaman Nabi Muhammad SAW seperti dipaparkan secara singkat dimuka tadi, juga zaman Khulafaur Rasyidin, zaman dinasti-dinasti berikutnya di Timur maupun di Barat. Sangat menarik untuk diperhatikan, bahwa pada tahun 1916 M. K.H.A. Wahab Hasbullah dan kiai-kiai lainnya telah membentuk sebuah lembaga yang dinamakan “Nahdlatul Wathon” di Surabaya, yang bergerak dalam upaya pencerdasan bangsa. Kita belum berani memastikan mengapai Kiai A. Wahab Hasbullah tidak menamkan lembaganya dengan Nahdlatul Ummah, tetapi sudah menggunakan kata al-Wathan, apakah karena semata-mata kebetulan atau memang merupakan kesadaran nasionalisme yang tumbuh di lingkungan ulama Pesantren? Namun apabila diamati langkah-langkah para kiai sesudah itu dengan lahirnya Nahdlatul at-Tujjar, Tashwiru Al-Afkar, kemudian Nahdlatul Ulama, MIAI Masyumi dan seterusnya, maka tidak berlebihan apaabila orang menilai bahwa Nahdlatul Wathan merupakan tonggak kebangkitan nasionalisme masyarakat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia. Perlu kiranya kita membuat refleksi penalaman sejarah bangsa Indonesia yang majemuk ini,agar memudahkan memberi gambaran tentang proses kesadaran berbangsa dan bernegara bagi rakyat Indonesia yang mayoritas muslim ini, dan juga keterlibatan NU sebagai jami’iyah maupun jama’ah dalam wawasan kebangsaan Indonesia ini. Memasuki abad ke-20 Para pemimpin di Indonesia tampaknya telah mampu mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah. Mereka akhirnya sampai pada satu kesimpulan, bahwa perjuangan melawan penjajah tidak cukup dilakukan dengan menggunakan perlawanan bersenjata dan semangat kepahlawanan saja, meskipun hal itu juga penting, tetapi juga diperlukan kesatuan tekad dan kesamaan pandangan melalui wacana kebangsaan atau keIndonesiaan, yang membutuhkan kesadaran tinggi untuk mengedepankan kepentingan bersama dari pada kepentingan kelompok maupun golongan atau daerah. Lahirnya organisasi-organisasi modern yang berwawasan nasional seperti Budi Utomo pada 20 Mei 1908, Serikat Dagang Islam pada tahun 1090, Muhammadiyah pada tahun 1912, Nahdlatul Ulama pada tahun 1926, dan lain-lain meruapkan gambaran nyata dari berkembangnya kesadaran nasional tersebut, yang akhirnya dipertgas dengan “sumpah pemuda” pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan, menunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, serta ‘berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Jadi NU sejak lahir sudah tidak pernah mempersoalkan masalah kebangsaan atau nasionalisme ini, dan sejak awal sudah menyadari dan siap eksis di tengah-tengah kemajemukan bangsa, bahkan banyak sekali ikut memberi andil dalam memecahkan masalah bangsa dalam situasi yang kritis. Sikap-sikap demikian menjadikan NU seringkali menerima tuduhan sebagai “Oportunistik, seringkali NU mengeluarkan keputusan yang secara sepintas lalu tampak dibuat sembarangan, untuk memenuhi selera penguasa pada satu saat, yang sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan pemerintahan pada saat itu. Sikap NU yang demikian itu juga seringkali dijadikan kambing hitam bagi tidak konsistennya “Perjuangan Islam” di Indonesia, dan menjadi casus belli perbedaan tajam dalam strategi perjuangan bagi gerakan Islam di negeri ini. Bagi NU tuduhan demikian tentu dinilai tidak tepat, karena bagi NU pedomannya bukanlah “strategi perjuangan politik” atau “ideology Islam” dalam artinya yang abstrak, melainkan keabasahannya dimata hokum fiqih. Peran NU sebagai jami’iyah maupun jama’ah dalam kehidupan berbangsa tidak sebatas masalah-masalah politik dan keagamaan, tetapi juga dalam upaya pencerdasan bangs, upaya peningaktan kesehatan masyarakat, dan upaya pengembangan ekonomi kerakyatan. Beribu ribu sekolah atau madrasah yang tela hdibangun, dibiayai dan dikembangkan pada semua tingaktan, dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Pusat-pusat pelayanan kesehatan dalam wujud alai-balai Kesehatan di desa sampai Rumah-rumah Sakit. Koperasi-koperasi, Bank-Bank Perkreditan Rakyat, tersebar di banyak tempat bahkan di Pondok-Pondok pesantren di bawah pembinaan NU atau lembaganya berkemang koperasi yang berhasil dengan baik. B. NU Dalam Koridor Politik Ada orang dalam bahasa kelakarnya mengatakan : “Syahwat politik NU itu lebih besar dari pada syahwat ekonomi atau yang lain-lainnya”, dengan maksud bahwa NU sebagai jami’iyah maupun jama’ah begitu mudah dan cepatnya merespons dan bergerak karena adanya issu atau maneuver politik. Dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa NU begitu cepat tanggap terhadap masalah-masalah politik, melebihi tingkat tanggapannya terhadap masalah-masalah lain, seperti masalah ekonomi, social budaya, sains dan teknologi dan lain-lain. Tetapi sebenarnya ada lagi masalah yang mudah mengusik dan menggerakkan semua organ NU diluar masalah politik, yaitu masalah agama. Dalam bidang lain, seperti pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dalam bidang pencerdasan umat, dalam upaya penguasaan informasi modern, belum mempunyai tingkat sensitifitas sebagaima halnya dengan masalah agama dan politik, ini sebenarnya sesuatu yang patut disayangkan, mengingat jumlah warga NU yang beigut besar, dan jaringan organisasinya menembus wilayah dari yang paling atas sampai yang paling bawah, dengan istitusi yang relative lengkap. Sejak awal kehadiran NU sebetulnya hal tersebut sudah disadari, oleh karenanya keterlibatan NU dalam politik semula lebih bersifat wacana dan sikap, bukan dalam positif praktis. Hal itu dapat diamati secara lebih jelas, mulai dari muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1933 yang membahas dan akhirnya menetapkan bahwa Hindia Belanda dari perspektif syari’ah adalah “negeri Islam” walaupun masih berada dibawah kekuasaan penjajah, karena mayoritas penduduknya adalah muslim, dan sebelumnya wilayah yang termasuk Hindia Belanda itu berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, di samping itu umat Islam di wilayah ini masih dapat melakukan ajaran dan kewajiban agamanya. Keputusan ini, disamping mempunyai dampak yang signifikan terhadap proses pembentukan nasionalisme bangsa Indonesia yang majemuk, juga merupakan sikap yang mengakui terhadap “Negara bangsa” Indonesia, suatu konsep modern dalam wawasan kenegaraan, yang belum dikaji dalam referensi-referensi fiqih siyasah. Selanjutnya dalam Muktamar ke-13 di Menes Jawa Barat, pada tahun 1938, diperdebatkan sebuah agenda Muktamar yang berasal dari usul cabang NU Indramayu, agar NU menempatkan wakilnya dalam Voksraad. Usul ini ditolak oleh siding dengan perbandingan 39 : 11, dan 3 abstain. Alas an penolakan tersebut bukan karena subtansi dewan tersebut dianggap tidak sah atau tidak penting, namun lebih karena dianggap tidak sah atau tidak penting, namun lebih karena kekhawatiran akan tersedotnya tenaga kader NU yang sampai waktu itu masih sangat diperlukan untuk membina NU, disamping kekhawatiran akan terpecahnya perhatian NU dari garapan-garapan pokok yang menjadi cita-cita berdirinya NU. Dalam Muktamar ini juga NU menolak berpartisipasi dalam milisi untuk membantu kekuatan tentara Belanda. Selama ini NU memang memandang “Organisasi sebagai alat, bukan sebagai tujuan dalam perjuangan”, maka bisa saja pada suatu ketika NU mengikuti dalam suatu organissi apabila dipandang organisasi tersebut cukup efektif sebagai alat dalam mencapai suatu tujuan, namun apabila organisasi tersebut tidak lagi efektif sebagai alat perjuangan, maka NU akan keluar meninggalkan organisasi tersebut. Sikap ini akan dapat dilihat dalam perjalanan NU selanjutnya. Pada masa pendudukan Jepang NU melakukan transformasi diri dalam politik, antara lain dengan kesediaan NU menempatkan tokoh-tokohnya dalam keanggotaan Chau Sangi-in, sebagai Badan Legislatif buatan Jepang yang sebelumnya NU menolak duduk sebagai anggota Voksraad buatan Belanda, dengan alas an seperti dipaparkan dimuka. Hasil yangdidapat dari partisipasi NU dalam lembaga ini adalah diizinkannya kembali NU aktif sebagai organisasi social keagamaan di tengah-tengah masyarakat pada bulan September tahun 1943, disamping dapat melakukan labi-lobi dengan organisasi keagaman lain juga dengan gerakan-gerakan nasionalis sekuler yang kelihatan bertambah intensif melakukan aktivitas-aktivitasnya. Kredibilitas yangdimiliki NU ditengah-tengah gelombang perjuangan nasional waktu itu dapat dibuktikan dengan kepercayaan yangdiberikan kepada NU untuk memimpin lembaga-lembaga federasi seperti MIAI pada tahun 1937, kemudin dalam Masyumi pada bulan Oktober 1943, lagi-lagi K.H. Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai pimpinannya. Tapi pengalaman yangkurang menggembirakan bagi NU, sering dipecundangi mitra federasinya sendiri dalam kehidupan politik praktis, mungkin karena NU yang banyak dipimpin oleh para Kiai yangdalam budaya dan etika pergaulannya selalu menggunakan pendekatan “husnu adh-dhon”, sedangkan dalam budaya politik praktis pendekatan husnu adh-dhon tersebut tidak popular dan yang lebih popular adalah pendekatan al-khid’ah. NU sampai hari ini meskipun tetapi mempunyai semangat berpolitik, tetapi terasa sekali kekurangan SDM politik yang professional, yang memahami dengan baik masalah kenegaraan dengan segala aspeknya, yang menguasai manajemen birokrasi, yang memiliki keahlian dalam sector-sektor pemerintahan dan pelayanan public. Masalah ini professional, yang visioner dan expertise seharusnya menjadi agenda besar bagi NU apabila memang masih tertarik untuk terlibat dalam politik praktis, dan tidak cukup hanya melalui rekruitmen anggota legislative setiap pemilu lima tahunan, atau penyusunan kepengurusan partai politik yang sering kali terlihat amatiran. Keterlibatan NU dalam partai politik, dimulai dari Masyumi, ketika pemerintahan RI yang baru memproklamirkan kemerdekaannya, mengumumkan memberi kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk membentuk partai politik untuk menyalurkan segala aspirasinya. Keputusan tersebut kemudian disambut hangat oleh rakyat dan para politisi. Dalam muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 7-8 November 1945 memutuskan membentuk partai politik “Masyumi” yang dianggap sebagai satu-satunya partai Islam. Tujuan ini ternyata tidak berjalan mulus sebagaimana diharapkan, karena tidak semua kekuatan islam mau bergabung didalamnya. Organisasin Islam perti yang berpusat di Sumatra Barat menlak bergabungdalam Masyumi dan membentuk partai politik sendiri, yaitu Perti, mungkin alasannya karena kepemimpinan Masyumi dikuasai kaum muda, yang banyak tidak sejalan dengan aspirasi Perti yang banyak didominasi kaum tua. Dan NU pada mulanya sangat mendukung Masyumi dan bersemangat menganjurkan warganya sendiri maupun umat Islam umumnya agar bergabung dalam Masyumi. Menurut Ali Haidar, dalam Muktamar NU ke-16 di Purwokerto tahun 1946, NU menyerukan agar warganya membanjiri partai politik Masyumi dan memutuskan NU akan menjadi tulang punggung Masyumi. Namun segera saja tradisi partai politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi ajang perebutan, dan hal0hal lain menyangkut ketidaksefahaman kebijakan politik menghadapi Belanda seperti dalam perjanjian Linggarjati dan Renvile. Tetapi belakangan ini, tampak sekali NU mulai tidak kuat lagi menahah syahwat politiknya, baik secara institusional maupun individual para elitnya, sebagian besar anggota pengurus NU dimulai dari pengurus Besar (PBNU) sampai pngurus cang atau wakil cabang, ramai-ramai berebut menjadi Caleg, calon DPD Maupun calon presiden dan Cawapres yangtidak jarang menyulut konflik-konflik internal, dan tidak jarang dilakukan dengan cara yang diluar kepribadian dan tata karma ke-NU-an, ilaa man rahima robbuh. Selama NU terlibat dalam politik praktis, khususnya setelah memisahkan diri dari Masyumi dan menjadi partai politik ksendiri pada tahun 1952 melalui Muktamar ke-21 di Palembang, sampai pada awal 1980-an tepatnya setelah NU menyatakan kembali ke Khittah tahun 1926 dan melepaskan diri dari kegiatan poloitik praktis dan Situbondo pada tahun 1984, banyak terjadi perubahan penampilan dan perhatian dalam NU. Selama waktu kurang lebih 30 tahun itu, dalam NU bermunculan “Kiai-kiai politisi disemua tingakan, yang meramaikan bursa jabatan-jabatan public, tapi disamping itu juga bermunculan “Politisi-politisi NU dadakan”, artinya banyak tokoh-tokoh politik baru dalam NU yang tidak jelas ke-NU-annya, yangtidak diketahui secara pasti mulai kapan aktif berkhidmah kepada NU dan melayani jama’ahnya, dan juga tidak diketahui selama ini apa andil dan kontribusinya dalam membesarkan NU, tahu-tahu mereka menduduki jabatan “atas nama NU”, baik dalam jabatan pemerintahan maupun dalam struktur organisasi partai NU sendiri. Gejala itu meluas dan seringkali menimbulkan kecemberuan diantara kader-kader NU, antara yang merasa menjadi anak kandungdengan anak angkat. Tapi memang NU sendiri sulit menghindari fenomena tersebut, karena NU sebagai organiasi politik membutuhkan sejumlah tenaga ahli yang layak ditempatkan dalam posisi dan jabatan-jabatan politik yang terbuka peluangnya, yang ternyata keahlian-keahlian tersebut tidak selalu ditemukan dalam deretan kader-kader NU sendiri. Disamping hal-hal positif yang diperoleh NU melalui jalur politik praktis tersebut, ada pula akbiat negative yang dirasakan NU dan warganya selama itu, antara lain mandegnya garapan NU dalam sector-sektor pelayanan social, pendidikan kesehatan, ekonomi dan lain-lain. Stamina NU terkuras habis untuk melayani kbutuhan-kebutuhan politik praktis yang penuh persaingan dan konspirasi. Energi dan vitalitas NU terkonsentrasi untuk menempatkan dan membesarkan orang, sehingga persediaan energi dan vitalitas untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada umat dan untuk membesarkan NU-nya sendiri tinggal sisa-sisanya. Dan setelah NU dapat menempatkan diri dalam posisi “diluar pusaran politik praktis NU dapat lebih banyak memberikan perhatian pada garapan-garapan strategis lainnya. Disis lain NU sebagai wadah perjuangan umat tidak steril dari pemikiran dan gagasan-gagasan politik makro yang lebih konseptual, sedangkan aktualitasinya dapat disalurkan dalam berbagia insturmen politik yang ada, instutusional atau personal. BAB II KESIMPULAN Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa : Konsep “bangsa” seperti yang difahami dalam wacara politik sekarang memang termasuk barang baru, artinya muncul pada era kehidupan modern ini saja setelah revolusi Perancis pada tahun 1789 M. Bangsa atau nation disini diartikan sebagai kesatuan orang-orang yang mempunyai kesamaan sejarah, kesamaan cita-cita dan perjuangan, kesamaan wilayah tempat tinggal dan pemerintahan, meskipun kemungkinan diantaranya ada perbedaan dalam asal-usul keturunan (ras), keyakinan (agama) maupun bahasa. Faham nasionalisme modern sekarang mengacu pada pengertian nation atau bangsa seperti yang dikemukakan tersebut, seperti Indonesia yang dalam kebangsaannya terdiri dari beberapa suku, beberapa asal ras, beberapa bahasa daerah, beberapa budaya dan tradisi local, tetapi mereka semua menyatakan diri sebagai bansa Indonesia yang satu kesatuan diatas berbagai macam perbedaan-perbedaan. Jadi NU sejak lahir sudah tidak pernah mempersoalkan masalah kebangsaan atau nasionalisme ini, dan sejak awal sudah menyadari dan siap eksis di tengah-tengah kemajemukan bangsa, bahkan banyak sekali ikut memberi andil dalam memecahkan masalah bangsa dalam situasi yang kritis. Sejak awal kehadiran NU sebetulnya hal tersebut sudah disadari, oleh karenanya keterlibatan NU dalam politik semula lebih bersifat wacana dan sikap, bukan dalam positif praktis. Hal itu dapat diamati secara lebih jelas, mulai dari muktamar ke-11 di Banjarmasin pada tahun 1933 yang membahas dan akhirnya menetapkan bahwa Hindia Belanda dari perspektif syari’ah adalah “negeri Islam” walaupun masih berada dibawah kekuasaan penjajah, karena mayoritas penduduknya adalah muslim, dan sebelumnya wilayah yang termasuk Hindia Belanda itu berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam, di samping itu umat Islam di wilayah ini masih dapat melakukan ajaran dan kewajiban agamanya. DAFTAR PUSTAKA Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal jama’ah dalam perspektif dan tradisi NU, Lantabora Press, Jakarta, 2006.
Share this article :

Blog Archive

Followers

Search This Blog

Blogger Themes

Random Post

Bagaimana Pendapat Anda dengan Blog ini?

Trending Topik

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified
SELAMAT DATANG
script>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Berbagai Kumpulan Makalah - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template